Upaya apa yang bisa dilakukan atas sengketa / kasus pertanahan yang terjadi antara warga desa dengan suatu korporasi?

Upaya Hukum dalam penyelesaian sengketa / kasus pertanahan antara warga desa dengan korporasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

 

  1. Upaya penyelesaian para pihak yang bersengketa secara sendiri :

bentuk penyelesaian yang hanya melibatkan para pihak yang bersengketa tanpa melibatkan peran Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Institusi peradilan. Melalui kesepakatan para pihak yang disaksikan tokoh adat/masyarakat dan pihak pemerintahan desa/kelurahan.

 

  1. Melalui kantor BPN :

BPN telah menerbitkan petunjuk teknis penanganan dan penyelesaian masalah pertanahan melalui Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020

 

  1. Melalui jalur litigasi/hukum atau mengikuti proses peradilan :

Pada umumnya penyelesaian sengketa pertanahan terkait sengketa kepemilikan diserahkan ke peradilan umum, terhadap sengketa keputusan BPN melalui pengadilan negeri atau pengadilan tata usaha negara.

 

 

Kasus pertanahan adalah sengketa, konflik, atau perkara tanah yang disampaikan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang (“Kementerian ATR”) / BPN, Kantor Wilayah BPN (“Kanwil BPN”), kantor pertanahan sesuai kewenangannya untuk mendapatkan penanganan dan penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[1] Dalam hal terjadi kasus pertanahan di desa, dan belum sampai ke lembaga peradilan, sebaiknya konflik diselesaikan dengan melakukan pengaduan melalui loket penerimaan surat pengaduan, loket penerimaan pengaduan secara langsung, dan melalui media daring yang diselenggarakan kementerian, kantor wilayah, kantor pertanahan.[2]

Peraturan Terkait

  • Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (“UUPA”)
  • Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan (“Permen Agraria 21/2020”)
  • Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian (“Permen Agraria 18/2016”)
  • Keputusan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah TInggal (“Kepmen Agraria 6/1998”)

 

Analisa

Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sehingga wilayah darat, laut, dan udara dan ruang angkasa merupakan yurisdiksi dari Wilayah Negara Republik Indonesia. Namun, definisi kalimat “dikuasai” ini berarti Negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Negara bukanlah “memiliki” tetapi negara diberi wewenang sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk:

  1. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;
  2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu;
  3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Oleh karena itu dikeluarkan UUPA dengan tujuan utama UUPA adalah untuk meletakkan dasar-dasar pemberian kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat. Negara memiliki wewenang untuk pengaturan kepemilikan hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum. Hal ini jelas diterangkan dalam pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu:

Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 , dan hal-hal sebagai dimaksud dalam pasal 1, Bumi, Air dan Ruang Angkasa, termasuk kekayaan Alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai Organisasi kekuasaan seluruh Rakyat

 

Berdasarkan hak menguasai negara yang ditegaskan dalam Pasal 2 UUPA diatas, maka menurut ketentuan dalam Pasal 4 UUPA yang selanjutnya dirinci dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, kepada perseorangan atau badan hukum diberikan beberapa macam hak atas tanah.[1] Hak-hak tersebut dapat dimiliki atau dikuasai oleh Warga Negara Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Konsekuensi pengakuan negara terhadap hak atas tanah yang dimiliki orang atau badan hukum tersebut, adalah negara berkewajiban memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut, sehingga setiap orang atau badan hukum yang memiliki hak tersebut dapat mempertahankan haknya. Pembagian hak-hak atas tanah berdasarkan Pasal 16 UUPA ke dalam Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan serta Hak-hak lainnya yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas dan hak-hak yang sifatnya sementara, dimaksudkan untuk memberikan hak atas tanah berdasarkan peruntukannya dan subyek yang memohon hak atas tanah tersebut.

Sebagaimana dinyatakan pada bagian penjelasan Pasal 6 UUPA, yakni semua Hak atas tanah mempunyai fungsi sosial,  ini berarti hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara.

Segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. Dengan berpedoman pada tujuan tersebut di atas, negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau Badan Hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan penggunaanya. Oleh karena itu, Negara juga mengatur batasan terhadap luas kepemilikan tanah yang boleh dimiliki oleh suatu individu / kelompok. Misalnya untuk tanah pertanian berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Permen Agraria 18/2016 batas luas penguasaan lahan kepemilikan pertanian adalah sebagai berikut:

  • tidak padat, paling luas 20 hektar;
  • kurang padat, paling luas 12 hektar;
  • cukup padat, paling luas 9 hektar;
  • sangat padat, paling luas 6 hektar
  • Pembatasn untuk badan hukum sesuai dengan surat keputusan pemberian haknya.[2]

Kemudian untuk tanah untuk rumah tinggal, berdasarkan Permen Agraria 6/1998, dinyatakan batasan perolehan hak milik atas tanah untuk rumah tinggal oleh perseorangan tidak lebih dari 5 bidang atau yang seluruhnya meliputi luas tidak lebih dari 5.000 meter persegi.[3] Namun dalam keputusan menteri ini tidak dijelaskan pembatasan kepemilikan tanah untuk rumah tinggal oleh badan hukum.

Berkenaan dengan kepemilikan tanah, terdapat berbagai sengketa,konflik, hingga perkara yang dapat terjadi kepada siapapun dari pemegang hak atas tanah. Tidak terkecuali untuk masyarakat di desa, yang seringkali terjadi sengketa terjadi karena sistem pengukuran tanah yang kurang akurat disebabkan kendala geografis dan operasional, lebih khususnya lagi jika batas tanah tersebut bersinggungan dengan korporasi yang sering merugikan kepentingan warga di desa.

Upaya hukum dalam penyelesaian sengketa tanah antara korporasi dan warga desa dapat dilakukan dengan berbagai cara. Upaya ini dilakukan untuk melindungi hak-hak korporasi maupun warga desa yang bersengketa. Upaya penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan sebagai berikut:

  • Diselesaikan oleh para pihak yang bersengketa sendiri
    • Upaya ini dilakukan sebagai bentuk penyelesaian yang hanya melibatkan para pihak yang bersengketa tanpa melibatkan Kantor Pertanahan dan Institusi Peradilan. Penyelesaian dijalankan melalui kesepakatan para pihak yang biasanya disaksikan tokoh adat/masyarakat dan pihak pemerintahan desa/kelurahan.
  • Melalui BPN :
    • Setelah dibentuknya BPN berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006, dimana struktur organisasi BPN dibentuk 1(satu) kedeputian, yaitu Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik, yang saat ini wewenang untuk penanganan sengketa dan konflik pertanahan ada di Direktorat Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik (Ditjen VII).[4] BPN juga telah menerbitkan petunjuk teknis sebagaimana terdapat pada Permen Agraria 21/2020. Dalam menjalankan tugasnya, BPN melakukan upaya kepada para pihak yang bersengketa melalui mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa alternatif.
  • Melalui jalur litigasi/hukum atau mengikuti proses peradilan (Lembaga Peradilan) :
    • Upaya melalui Lembaga Peradilan. Penyelesaian sengketa pertanahan terkait sengketa kepemilikan diserahkan ke peradilan umum, terhadap sengketa keputusan BPN melalui pengadilan negeri atau pengadilan tata usaha negara. Upaya peradilan ini memakan waktu yang lama membuat kasus sengketa tanah berlarut-larut dan terus meningkat kuantitasnya.[5]

Untuk memberikan pelayanan penyelesaian sengketa pertanahan diluar pengadilan, Pemerintah telah memiliki peraturan yang terkait kasus pertanahan sebagaimana diatur pada Permen Agraria 21/2020. Kasus pertanahan adalah Sengketa, Konflik, atau Perkara Pertanahan untuk mendapatkan penanganan penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan.[6] Sengketa tanah adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas.[7] Selanjutnya terdapat klasifikasi untuk Sengketa dan/atau Konflik pertanahan:[8]

  1. Kasus berat: melibatkan banyak pihak, mempunyai dimensi hukum yang kompleks, dan/atau berpotensi menimbulkan gejolak sosial, ekonomi, politik dan keaman;
  2. Kasus sedang: meliputi antara pihak yang dimensi hukum dan/atau administrasinya cukup jelas yang jika ditetapkan penyelesaiannya melalui pendekatan hukum dan administrasi tidak menimbulkan gejolak sosial, ekonomi, politik dan keamanan;
  3. Kasus ringan : meliputi pengaduan atau permohonan petunjuk yang sifatnya teknis administratif dan penyelesaiannya cukup dengan surat petunjuk penyelesaian ke pengadu atau pemohon

Jika kasus tanah yang bersangkutan belum sampai lembaga peradilan, maka kasus tersebut dapat dikategorikan sebagai Sengketa atau Konflik Pertanahan.

Penyelesaian sengketa tanah tanpa pengadilan (melalui loket pengaduan di BPN) memiliki prosedur sebagai berikut:

  1. Ajukan pengaduan kepada Kantor Pertanahan melalui loket penerimaan surat Pengaduan, loket penerimaan Pengaduan secara langsung dan penerimaan Pengaduan melalui media daring yang diselenggarakan oleh Kementerian, Kantor Wilayah, Kantor Pertanahan.[9] Nantinya pengadu akan mendapatkan tanda terima Pengaduan (baik secara langsung maupun secara media daring)[10]

 

 

 

 

  1. Berkas pengaduan harus disertai:[11]
    1. Fotokopi identitas pengadu (perorangan, badan hukum, kelompok masyarakat, instansi pemerintah, dan/atau Kementerian, Kantor Wilayah, Kantor Pertanahan).[12]
    2. Fotokopi identitas penerima kuasa & surat kuasa apabila dikuasakan
    3. Data pendukung/bukti terkait pengaduan.
    4. uraian singkat kronologis Kasus.

 

  1. Jika persyaratan pengaduan dinyatakan lengkap, selanjutnya dituangkan dalam resume pengaduan, kemudian dikaji petugas untuk menentukan kasus atau bukan kasus.[13]
  2. Apabila termasuk kasus pertanahan, akan dientri dalam sistem informasi penangangan kasus.[14]
  3. Dalam menyelesaikan sengketa, Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri akan menerbitkan pembatalan hak atas tanah, pembatalan sertifikat, atau perubahan data.

Tahapan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan

Penanganan sengketa dan konflik tanah dilakukan secara berurutan melalui tahapan:[15]

  1. Pengkajian kasus, yang dilakukan untuk memudahkan kasus yang ditangani dan dituangkan dalam bentuk telaahan staf yang memuat:
    1. Judul;
    2. Pokok permasalahan (subjek yang bersengketa, keberatan atau tuntutan pihak pengadu, letak, luas dan status objek kasus);
    3. Riwayat kasus;
    4. data atau dokumen yang tersedia;
    5. klasifikasi kasus; dan
    6. hal lain yang dianggap penting.
  2. Gelar awal, dipimpin oleh Direktur, Kepala Bidang V atau Kepala Seksi V, yang bertujuan untuk:[16]
    1. menentukan instansi atau lembaga atau pihak-pihak yang mempunyai kewenangan dan/atau kepentingan terkait kasus yang ditangani;
    2. merumuskan rencana penanganan;
    3. menentukan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan;
    4. menentukan data yuridis, data fisik, data lapangan, dan bahan yang diperlukan;
    5. menyusun rencana kerja penelitian; dan
    6. menentukan target dan waktu penyelesaian

Hasil gelar awal dibuatkan notula ringkasan dan digunakan sebagai dasar untuk:[17]

  1. menyiapkan surat ke instansi lain untuk menyelesaikan jika Kasus merupakan kewenangan instansi lain;
  2. menyiapkan surat kepada Kepala Kanwil dan/atau Kepala Kantor Pertanahan untuk melaksanakan penanganan dan penyelesaian Kasus
  3. menyiapkan tanggapan atau jawaban ke pengadu; atau
  4. menyiapkan kertas kerja penelitian sebagai dasar melaksanakan penelitian.

 

  1. Penelitian, yakni proses mencari, mendalami, mengembangkan, menemukan, dan menguji data dan/atau bahan keterangan yang dibutuhkan untuk membuat terang suatu kasus.[18]
  2. Ekspos hasil penelitian, untuk menyampaikan data/bahan keterangan yang menjelaskan status hukum produk hukum maupun posisi hukum masing-masing pihak.[19]
  3. Rapat koordinasi, yakni pertemuan yang dilakukan oleh BPN, Kanwil BPN, kantor pertanahan sesuai kewenangannya dengan instansi terkait dalam rangka integrasi, sinkronisasi penanganan dan/atau penyelesaian kasus.[20]
  4. Gelar akhir, dilakukan jika ekspos hasil penelitian menyimpulkan telah terdapat cukup data dan dasar untuk mengambil keputusan[21] untuk mengambil keputusan penyelesaian kasus yang akan dilakukan oleh Menteri, Kepala Kanwil, atau Kepala Kantor Pertanahan.[22]
  5. Penyelesaian kasus, merupakan keputusan yang diambil atas kasus sebagai tindak lanjut dari penanganan yang dilakukan oleh BPN, Kanwil BPN, kantor pertanahan sesuai kewenangannya.[23]

Khusus sengketa dan konflik dengan kasus sedang atau ringan, penanganannya dapat dilakukan tanpa melalui semua tahapan diatas.[24]

Bentuk dan Tindak Lanjut Penyelesaian

Penanganan kasus dinyatakan selesai dengan kriteria:[25]

  1. Kriteria satu (K1) jika penyelesaian bersifat final, berupa:
    1. Keputusan pembatalan, disampaikan oleh Kementerian atau Kantor Wilayah sesuai kewenangannya ke Kantor Pertanahan dan wajib ditindaklanjuti;[26]
    2. Perdamaian; atau
    3. Surat penolakan tidak dapat dikabulkannya permohonan.
  2. Kriteria dua (K2) jika berupa:
    1. Surat petunjuk penyelesaian kasus atau surat penetapan pihak yang berhak tetapi belum dapat ditindaklanjuti keputusan penyelesaiannya karena ada syarat yang harus dipenuhi yang merupakan kewenangan instansi lain;
    2. Surat rekomendasi penyelesaian kasus dari Kementerian kepada Kantor Wilayah atau Kantor Pertanahan sesuai kewenangannya dan Kantor Wilayah kepada Kantor Pertanahan atau usulan penyelesaian dari Kantor Pertanahan kepada Kantor Wilayah dan Kantor Wilayah kepada Menteri.
  3. Kriteria tiga (K3) berupa surat pemberitahuan bukan kewenangan Kementerian.

Penyelesaian sengketa tanah sebagaimana diuraikan diatas ini merupakan penyelesaian tanpa pengadilan, dan hanya bisa dilakukan jika ternyata sengketa tanah yang terjadi memang tidak termasuk sengketa yang merupakan kewenangan Kementerian. Penyelesaian kasus pertanahan dapat juga dilakukan melalui mediasi.[27] Jika mediasi tercapai kesepakatan perdamaian, dituangkan dalam akta perdamaian dan didaftarkan para pihak di pengadilan negeri wilayah hukum letak tanah yang jadi objek kasus untuk memperoleh putusan perdamaian.[28] Jika mediasi gagal, selanjutnya diambil keputusan penyelesaian kasus.[29]

 

Penyelesaian dalam sengketa tanah antara korporasi dan warga desa tidak selalu diakhiri dengan kesepakatan atas mediasi yang ditempuh oleh para pihak. Ada yang menempuh litigasi setelah mediasi tersebut tidak berhasil dilaksanakan. Sebagai contoh pada kasus korporasi antara masyarakat / warga desa di Kabupaten Muaro Jambi dengan korporasi[30] yang menjadi sengketa adalah perjanjian jual beli tanah yang tidak dilandasi itikad baik, penguasaan tanah tanpa dilandasi atas hak yang jelas, dan jual beli yang tidak dilakukan oleh pemilik yang sah. Penyelesaian dalam sengketa kasus tanah tersebut telah mengikuti ketentuan Pasal 43  Permen Agraria 21/2020 tentang penyelesaian kasus pertanahan.

[1] Pasal 2 UUPA, Pasal 4 UUPA, dan Pasal 16 ayat (1) UUPA

[2] Pasal 3 ayat (4) Permen Agraria 18/2016

[3] Pasal 2 ayat (1) huruf e dan Pasal 4 ayat (3) Kepmen Agraria 6/1998

[4] Pasal 1 angka 17 Permen Agraria 21/2020

[5] Ditya Putri Wulansari & Pahlefi, Sengketa Tanah Antara Korporasi Dengan Masyarakat Kaitannya Dengan Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Kabupaten Muaro Jambi, Zaaken Journal of Civil and Business Law, Volume 1 Nomor 3 Oktober 2020, hlm. 497

[6] Kasus Pertanahan dibedakan menjadi:

  1. Sengketa pertanahan : Perselisihan tanah antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas (Lihat Pasal 1 Angka 2 Permen Agraria 21/2020)
  2. Konflik Pertanahan : Perselisihan tanah antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas (Lihat Pasal 1 Angka 3 Permen Agraria 21/2020)
  3. Perkara Pertanahan : Perselisihan tanah yang penanganan dan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan (Lihat Pasal 1 Angka 4 Permen Agraria 21/2020)

[7] Pasal 1 ayat (2) Permen Agraria 21/2020

[8] Pasal 5 Permen Agraria 21/2020

[9] Pasal 3 ayat (2) Permen Agraria 21/2020

[10] Pasal 3 ayat (6) dan (7) Permen Agraria 21/2020

[11] Pasal 3 ayat (3) Permen Agraria 21/2020

[12] Pasal 3 ayat (3) huruf a Permen Agraria 21/2020

[13] Pasal 4 ayat (3) Permen Agraria 21/2020

[14] Idem

[15] Pasal 6 ayat (1) dan (2) Permen Agraria 21/2020

[16] Pasal 8 ayat (1) dan (2) Permen Agraria 21/2020

[17] Pasal 8 ayat (3) dan (4) Permen Agraria 21/2020

[18] Pasal 1 angka 7 Permen Agraria 21/2020

[19] Pasal 11 ayat (2) Permen Agraria 21/2020

[20] Pasal 1 angka 9 Permen Agraria 21/2020

[21] Pasal 12 ayat (1) Permen Agraria 21/2020

[22] Pasal 15 ayat (1) Permen Agraria 21/2020

[23] Pasal 1 angka 12 Permen Agraria 21/2020

[24] Pasal 6 ayat (3) Permen Agraria 21/2020

[25] Pasal 17 Permen Agraria 21/2020

[26] Pasal 18 ayat (1) Permen Agraria 21/2020

[27] Pasal 43 ayat (1) Permen Agraria 21/2020

[28] Pasal 44 ayat (5) Permen Agraria 21/2020

[29] Pasal 1 Angka 12 Permen Agraria 21/2020

[30]

 

[1] Pasal 1, Permen Agraria 21/2020

[2] Pasal 3 Ayat 2 Permen Agraria 21/2020

Recommended Posts