Bolehkah Pulau Kecil diberikan Hak Atas Tanah?

Kesimpulan

Pulau-pulau kecil itu dikuasai oleh Negara, kemudian Negara mengatur penguasaannya kepada pihak lain dalam bentuk Izin. Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 9, Ayat 1 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, bahwa “Pulau-pulau kecil dapat diberikan Hak Atas Tanah” [1], dengan beberapa syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi dan tidak menutup akses publik terhadap pulau tersebut (akan dijelaskan pada bagian analisa). Syarat utama kepemilikan Pulau adalah berstatus Warga Negara Indonesia (WNI). Oleh karena itu kepemilikan pulau oleh orang asing dilarang di Indonesia. Baik itu orang asing maupun badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia, hanya bisa memiliki hak berupa hak pakai dan hak sewa saja.[2]

 

Peraturan Terkait

  • Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)
  • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil (“UU 27/2007”)
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil (“UU 1/2014”)
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU 11/2020”)
  • Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (“Permen Agraria 17/2016”)
  • Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 (“UUPA”)
  • Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (“UU HT”)

 

Analisa

Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga wilayah darat, laut, dan udara dan ruang angkasa merupakan yurisdiksi dari Wilayah Negara Republik Indonesia. Namun, definisi kalimat “dikuasai” ini berarti Negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Negara bukanlah “memiliki” tetapi negara diberi wewenang sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk:

  1. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;
  2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu;
  3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.[3]

Penguasaan tanah oleh negara dalam konteks di atas adalah penguasaan yang otoritasnya menimbulkan tanggung jawab, yaitu untuk kemakmuran rakyat. Di sisi lain, rakyat juga dapat memiliki hak atas tanah. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah mengingat fungsi sosial melekat pada kepemilikan tanah tersebut. Dengan perkataan lain, hubungan individu dengan tanah adalah hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban, sedangkan hubungan negara dengan tanah melahirkan kewenangan dan tanggung jawab.[4]

Oleh karena itu, pulau-pulau yang berada di wilayah negara Indonesia itu dikuasai oleh negara. Untuk itu, negara mempunyai wewenang-wewenang diatas. Negara bertanggung jawab atas pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam bentuk penguasaan kepada pihak lain (baik itu perseorangan maupun swasta) melalui mekanisme perizinan. Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap, wajib memiliki izin lokasi. Yang kemudian izin lokasi tersebut akan menjadi dasar pemberian izin pengelolaan.[5]

Jenis-jenis Perizinan:

  • Izin Lokasi : Izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas [keluasaan] tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil.[6]
  • Izin Pengelolaan : Izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil.[7]

Prinsip persentase area konservasi di pulau yang dimiliki

Kemudian, kembali kepada pembahasan mengenai Pulau-pulau kecil, sebagaimana kesimpulan tertulis diatas, dinyatakan bahwa pulau-pulau kecil dapat diberikan Hak Atas Tanah, dengan batasan-batasan yang harus diperhatikan sebagai berikut [8]:

  1. Penguasaan atas pulau-pulau kecil paling banyak 70% (tujuh puluh persen) dari luas pulau, atau sesuai dengan arahan rencana tata ruang wilayah provinsi/kabupaten/kota dan/atau rencana zonasi pulau kecil tersebut;
  2. Sisa paling sedikit 30% (tiga puluh persen) luas pulau kecil yang ada dikuasai langsung oleh negara dan digunakan dan dimanfaatkan untuk kawasan lindung, area publik atau kepentingan masyarakat; dan
  3. Harus mengalokasikan 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau untuk kawasan lindung.

Penguasaan dan pemilikan tanah di pulau kecil tidak boleh menutup akses publik. Akses publik adalah [9]:

  1. akses perorangan atau kelompok orang untuk berlindung, berteduh, menyelamatkan diri, mencari pertolongan dalam pelayaran;
  2. akses perorangan atau kelompok orang dengan ijin resmi untuk melaksanakan kegiatan terkait pendidikan, penelitian, konservasi dan preservasi.

Yang paling terbaru, berdasarkan ketentuan pada Pasal 19 UU 11/2020, diatur bahwa setiap orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil wajib memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan:

  1. Produksi garam;
  2. Biofarmakologi laut;
  3. bioteknologi laut;
  4. Pemanfaatan air laut selain energi;
  5. Wisata bahari;
  6. Pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan/atau
  7. Pengangkatan benda muatan kapal tenggelam.

Untuk kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang belum diatur berdasarkan ketentuan diatas, maka selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Sehingga dengan demikian pulau-pulau kecil dapat diberikan Hak Atas Tanah sebagaimana diatur pada Pasal 16 UUPA (terdiri dari: a. Hak Milik; b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan; d. Hak Pakai; e. Hak Sewa Bangunan; f. Hak Membuka Tanah; g. Hak Memungut Hasil Hutan; h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA,[10] merujuk kepada syarat batasan pada Pasal 9, Ayat 2 Permen Agraria 17/2016 yang harus dipenuhi dan dengan tidak menutup akses publik terhadap pulau tersebut. Selain syarat yang diatur dalam peraturan perundangan mengenai pemberian Hak Atas Tanah, pemberian Hak Atas Tanah di Pulau-Pulau Kecil juga harus memenuhi syarat:

  1. Peruntukannya sesuai dengan rencana tata ruang wilayah provinsi/kabupaten/kota, atau rencana zonasi Pulau-Pulau Kecil;
  2. Mendapat rekomendasi dari pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam hal belum diatur mengenai peruntukan tanah dalam RTRW; dan
  3. Memenuhi ketentuan perizinan dari instansi terkait.[11]

Berdasarkan pemaparan diatas, syarat utama untuk memiliki Pulau-Pulau Kecil adalah WNI, dan sertifikat kepemilikannya harus jelas secara hukum, dengan mematuhi persentase batasan-batasan antara area yang dimiliki dengan area konservasi yang ada. Oleh karena itu tidak mungkin dapat dimiliki oleh orang asing dan/atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia, apalagi tanah tersebut berada di Pulau-Pulau Kecil yang dilindungi dan dimiliki langsung oleh negara sebagaimana telah disebutkan pada Pasal 24 UU 27/2007. Sebagaimana dinyatakan pada UUPA, orang asing tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik, hanya dapat memiliki hak pakai dan hak sewa.[12]

[1] Pasal 9, Ayat 1 Permen Agraria 17/2016

[2] Pasal 42 jo Pasal 45 UUPA

[3] Pasal 2, Ayat 2 UUPA

[4] Aslan Noor, Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, CV Mandar Maju, Bandung, 2006, hal. 85

[5] Pasal 16 UU 1/2014

[6] Pasal 1 Angka 18 UU 1/2014

[7] Pasal 1 Angka 18 UU 1/2014

[8] Pasal 9, Ayat 2 Permen Agraria 17/2016

[9] Pasal 10 Ayat 1 dan 2 Permen Agraria 17/2016

[10] Hak yang sifatnya sementara : Hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat.

[11] Pasal 11 Ayat 2 Permen Agraria 17/2016

[12] Pasal 42 jo Pasal 45 UUPA

Recommended Posts