Kesimpulan:
- Definisi outsourcing dari penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain berubah menjadi alih daya
- Kini tidak ada batasan terhadap jenis pekerjaan yang bisa di alih dayakan
- Khusus untuk pekerja dengan status perjanjian kerja waktu tidak tertentu maka perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak bagi pekerja apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang obyek pekerjaannya tetap ada
Peraturan Terkait:
- UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Naker“)
- PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35”)
- Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 27 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 11 Tahun 2019 (“Permen 2012“)
Analisa:
UU Naker terkini, berdasarkan UU Cipta Kerja telah menghapuskan (i) jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain; dan (ii) larangan bahwa outsourcing tidak boleh diterapkan untuk pelaksanaan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi.
Pasal 18 PP 35 mengatur bahwa hubungan kerja antara perusahaan alih daya (“Perusahaan Outsourcing”) dan pekerja, didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWTT”), yang harus dibuat secara tertulis.
Perlindungan pekerja, upah, kesejahteraan, syarat kerja dan perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.
Pasal 66 UU Naker menegaskan bahwa Perusahaan Outsourcing wajib berbadan hukum dan berizin usaha dari pemerintah pusat.
Berdasarkan Pasal 27 Permen 12, perjanjian kerja antara pekerja dengan Perusahaan Outsourcing wajib didaftarkan ke dinas ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan.
PERLINDUNGAN PEKERJA
Pasal 19 PP 35, apabila Perusahaan Outsourcing mempekerjakan pekerja berdasarkan PKWT maka perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak bagi pekerja apabila terjadi pergantian Perusahaan Outsourcing dan sepanjang obyek pekerjaannya tetap ada.
Hal serupa ditegaskan dalam Pasal 32 Permen 2012 mengatur bahwa dalam hal Perusahaan Outsourcing tidak melanjutkan perjanjian penyediaan jasa pekerja dan mengalihkan pekerjaan penyediaan jasa pekerja kepada Perusahaan Outsourcing yang baru, maka Perusahaan Outsourcing yang baru, harus melanjutkan perjanjian kerja yang telah ada sebelumnya tanpa mengurangi ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja yang telah disepakati. Masa kerja yang lama harus tetap dianggap ada dan diperhitungkan oleh Perusahaan Outsourcing yang baru.
MK pada tahun 2012 memberikan putusan Nomor 27/PUU-IX/2011 soal outsourcing dengan memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
“… Dengan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan, ketika perusahaan pemberi kerja tidak lagi memberikan pekerjaan borongan atau penyediaan jasa pekerja/buruh kepada suatu perusahaan outsourcing yang lama dan memberikan pekerjaan tersebut kepada perusahaan outsourcing yang baru, maka selama pekerjaan yang diperintahkan untuk dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia jasa baru tersebut harus melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan yang ada dalam kontrak, tanpa persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan, kecuali perubahan untuk meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya. Aturan tersebut tidak saja memberikan kepastian akan kontinuitas pekerjaan para pekerja outsourcing, tetapi juga memberikan perlindungan terhadap aspek-aspek kesejahteraan lainnya, karena dalam aturan tersebut para pekerja outsourcing tidak diperlakukan sebagai pekerja baru. Masa kerja yang telah dilalui para pekerja outsourcing tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerja outsourcing dapat menikmati hak-hak sebagai pekerja secara layak dan proporsional… ”
Putusan MK tersebut menyatakan bahwa frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UU Naker bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja.
===