Dalam hal ada tanah yang sama, yang memiliki alas hak girik dan sertifikat pertanahan, manakah yang diakui secara hukum?

Kesimpulan

Bukti girik hanya merupakan bukti kekuasaan bidang tanah terkait, dan bahwa pajak atas tanah tersebut telah dibayar oleh pemilik girik. Dengan demikian, bukti girik bukanlah bukti hak atas tanah. Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa:

“Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”.

 

Aturan Terkait

  • Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
  • Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPER)
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997)
  • Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja)

 

Analisa

Terdapat jenis-jenis hak atas tanah, yaitu hak milik (pasal 20 s/d pasal 27 UUPA), hak guna usaha (pasal 28 s/d pasal 34 UUPA), hak guna bangunan (pasal 35 s/d pasal 40 UUPA), hak pakai (pasal 41 s/d pasal 43 UU PA), hak pengelolaan (pasal 1 s/d pasal 2 Peraturan Menteri Agraria 9/1965), hak sewa (pasal 44 s/d pasal 45). Dari sekian hak atas tanah, yang dapat dimiliki oleh warga negara asing hanyalah hak pakai, hak sewa dan hak milik atas satuan rumah susun (pasal 144 UU Cipta Kerja). Sedangkan warga negara Indonesia dapat memiliki seluruh hak atas tanah kecuali hak pengelolaan karena hak pengelolaan diberikan untuk dikelola oleh instansi pemerintah.

Untuk membuktikan seseorang atau badan hukum memiliki hak atas tanah, berdasarkan pasal 32 ayat (1) PP 24 /1997 menyatakan sebagai berikut:
Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.[1]

Sedangkan Hak Girik adalah hak atas tanah yang berdasarkan hukum adat. Tanah girik tidak memiliki sertifikat, sehingga tanah girik bukan berarti bukti memiliki hak atas tanah tersebut. Tanah girik hanya menyatakan bahwa pemegang Hak Girik hanya menguasai tanah tersebut. Girik masih diatur dalam hukum adat yang tidak tertulis dan KUHPER seperti eigendom yang diatur dalam pasal 570[2] KUHPER yang mana sudah tidak berlaku sejak terbitnya UUPA.

Di Indonesia sendiri, sertifikat hak atas tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat dalam membuktikan kepemilikan hak atas tanah. Sertifikat menjamin secara hukum bahwa orang yang tercantum dalam sertifikat hak atas tanah merupakan pemilik haknya. Dengan adanya kepastian hukum tersebut, maka pemegang sertifikat mendapatkan perlindungan hukum dari gangguan pihak lain.

Sertifikat tanah dijelaskan dalam  Pasal 32 ayat (1) PP 24 / 1997 sebagai berikut:

Pasal 32

(1) Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.

(2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.

Namun, tidak semua lahan di Indonesia telah bersertifikat. Di beberapa daerah, bahkan di kota besar seperti Jakarta, masih ada masyarakat menguasai tanah tanpa sertifikat sebagaimana dimaksud dalam UUPA. Tanah-tanah tersebut umumnya masih dikuasai dengan hak-hak lama. Tanah yang dikuasai dengan hak lama ini dapat berasal dari tanah hak adat, seperti girik, petok D atau ketitir. Selain berasal dari tanah hak adat, tanah hak-hak lama bisa juga berasal dari tanah hak milik barat, seperti eigendom, erfpacht dan opstaal. Sejak lahirnya UUPA, undang-undang tersebut telah memerintahkan kepada masyarakat agar melakukan konversi tanah-tanah hak lama menjadi hak atas tanah yang bersertifikat. Namun, karena belum penuhnya kesadaran masyarakat dan berbagai kendala lainnya, maka tanah-tanah non-sertifikat tersebut masih banyak yang belum dikonversi. Secara hukum, tanah non-sertifikat, misalnya tanah girik atau tanah berdasarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) dari Kelurahan dan Kecamatan, sebenarnya bukan merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah. Girik hanya merupakan bukti bahwa pemegang girik tersebut diberikan kuasa untuk menguasai tanah dan sebagai pembayar pajak atas tanah yang dikuasainya. Karena menurut UUPA, kepemilikan tanah harus dikuasai oleh suatu hak atas tanah berdasarkan sertifikat, maka dengan demikian surat girik tidak dapat dipersamakan dengan sertifikat hak atas tanah. Kedudukan sertifikat hak atas tanah lebih tinggi dibandingkan surat girik atau SKT.

Seseorang hanya memiliki tanah dengan surat girik atau SKT saja, memiliki peluang untuk mendapatkan dokumen kepemilikan Hak atas tanah. Sebagai pemegang surat girik atau SKT, sifatnya seseorang tersebut hanya menguasai tanah namun belum memilikinya. Untuk menjadi pemilik secara penuh, yang bersangkutan perlu meningkatkan statusnya menjadi sertifikat hak milik ke kantor pertanahan setempat. Surat girik dan SKT atas nama yang bersangkutan merupakan dasar untuk mengajukan peningkatan status hak tersebut.

 

[1] Suatu kepemilikan hak atas tanah wajib dibuktikan dengan sertifikat, demikian Undang-undang No 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) menentukan. Misalnya, jika seseorang mengklaim sebagai pemilik sebuah lahan, maka ia harus membuktikannya dengan Sertifikat Hak Milik (SHM).

[2] Pasal 570 KUHPER menerangkan bahwa HAK MILIK adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak menganggu hak-hak orang lain, dengan tidak mengurangi kemiskinan akan adanya pencabutan hak tersebut demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan Undang-Undang dengan disertai pembayaran ganti rugi.

Recommended Posts