Apakah masyarakat pra-sejahtera di kota besar yang selama 30 tahun menduduki lahan tanpa alas hak, dilindungi secara hukum dari penggusuran?

Penggusuran tanah dan bangunan merupakan hal yang sering dilakukan oleh Pemerintah, terutama di Kota-Kota besar seperti DKI Jakarta, dengan alasan pembangunan. Tentu akan ada banyak pihak yang terkena dampaknya, salah satunya warga yang tinggal di atas tanah yang tidak bersertifikat.

Namun apabila selama menempati tempat tersebut, warga memiliki itikad baik seperti :

  • melakukan pembayaran iuran PBB tahunan; dan
  • sudah menghuni suatu tanah selama lebih dari 20 tahun secara berturut-turut, tanpa klaim dari pihak manapun,

dapat mendaftarkan tanah mereka untuk memperoleh status kepemilikan sebagaimana terdapat pada Pasal 1963 dan 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Apabila sudah 30 tahun atau lebih, maka hak tersebut menjadi bersifat mutlak (tidak dapat dituntut pihak ketiga), yakni yang dimaksud mutlak adalah hak atas tanah tersebut.

Terkait keputusan penggusuran / relokasi apabila warga tidak sepakat dengan nilai ganti rugi yang ditawarkan, warga dapat mengajukan upaya hukum. Yakni mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 hari setelah musyawarah penetapan ganti kerugian.[1] Nantinya pengadilan negeri akan memutus bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 hari sejak diterimanya pengajuan keberatan[2]. Jika masih keberatan, maka dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lama 14 hari kerja,[3] selanjutnya Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak permohonan kasasi diterima.[4] Putusan Pengadilan Negeri/Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.[5] Warga juga dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan TUN untuk menunda / menahan penggusuran. Intinya warga baru wajib melepaskan tanahnya setelah pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

  1. Peraturan Terkait:
  • Undang Undang no. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”)
  • Kitab Undang Undang Hukum Perdata (“KUHPER”)
  • Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP No. 24/1997”)
  • Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (“PP No. 19/2021”) Undang Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“UU 2/2012”)
  • Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”)

 

  1. Analisa:

Tiga alasan yang sering digunakan oleh pemerintah dalam menggusur suatu pemukiman warga:

  • Penggusuran yang disebabkan oleh sengketa kepemilikan hak atas tanah maupun rumah[6].
  • Penggusuran yang disebabkan oleh perubahan tata ruang[7].
  • Penggusuran karena pembangunan jalan raya, jalan tol, normalisasi kali, pembangunan waduk, atau bandara[8]

Sebagaimana diatur dalam Pasal 123 angka 2 UU Cipta Kerja, secara umum, pembebasan tanah (pengadaan tanah) untuk kepentingan umum adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak untuk kepentingan masyarakat. Sehingga pemerintah wajib memberikan ganti kerugian yang layak dan adil,[9] yang diberikan langsung kepada pihak yang berhak.[10]

Pelaksanaan pembebasan tanah dan bangunan untuk pelaksanaan proyek harus mengacu pada PP No. 19/2021. Tahap-tahapnya adalah:

  1. Sebelum pembangunan proyek ditetapkan pemerintah harus berkonsultasi dengan masyarakat pemilik tanah dan rumah.
  2. Bila warga menolak maka pemerintah mengajukan permohonan penitipan ganti kerugian kepada pengadilan pada lokasi pembangunan untuk kepentingan umum setelah dilakukan penetapan persetujuan penitipan oleh pengadilan negeri.
  3. Bila warga setuju maka ditetapkan berapa nilai ganti rugi yang layak bagi tanah dan bangunan warga. Penetapan harga ini harus disetujui oleh kedua belah pihak. Bila warga tidak setuju dengan harga yang ditetapkan oleh panitia penetap harga, maka warga diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan penetapan harga ke pengadilan negeri. Bila ketidaksesuaian harga berlarut-larut maka pemerintah dapat menitipkan harga tanah ke pengadilan (sering disebut dengan istilah konsinyasi).
  4. Sebelum adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka pemerintah tidak bisa menggusur warga dari rumah dan tanahnya. Sebagaimana diatur pada Pasal 5 UU 2/2012, pemilik tanah baru wajib melepaskan tanahnya setelah pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Warga yang telah menduduki suatu tanah dengan itikad baik (daluwarsa / rechtsverwerking[11]) (itikad baik, salah satu contohnya, dapat dimaknai dengan membayar PBB, persis seperti kondisi hunian informal di berbagai wilayah di ibukota yang sertifikatnya tidak terbit, tetapi rutin membayar PBB) selama minimal 20 tahun juga dilindungi ketentuan Pasal 1963[12] dan Pasal 1967[13] KUHPER dan Pasal 24[14] ayat (1) dan ayat (2) PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, Ketentuan tersebut memberikan hak bagi warga yang menduduki tanah tersebut untuk mendaftarkan tanahnya, dan apabila masa pendudukan telah melampaui 30 tahun, hak atas tanah tersebut mutlak tidak dapat dituntut pihak ketiga. Pemegang hak (sebelumnya) yang selama bertahun-tahun meninggalkan atau tidak memanfaatkan tanah haknya, maka secara hukum dianggap telah meninggalkan haknya, Hal ini ditegaskan dalam beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA), diantaranya adalah:

  • Yurisprudensi MA No. 295 K/Sip/1973 tanggal 9 Desember 1975 yang menguraikan; “… mereka telah membiarkannya berlalu sampai tidak kurang dari 20 (dua puluh) tahun semasa hidupnya Daeng Patappu tersebut, suatu masa yang cukup lama sehingga mereka dapat dianggap telah meninggalkan haknya yang mungkin ada atas sawah sengketa, sedangkan Tergugat Pembanding dapat dianggap telah memperoleh hak milik atas sawah sengketa”.
  • Yurisprudensi MA No. 329 K/Sip/1957 tanggal 24 September 1958 menegaskan; “orang yang membiarkan saja tanah menjadi haknya selama 18 (delapan belas) tahun dikuasai oleh orang lain dianggap telah melepaskan hak atas tanah tersebut (rechtsverwerking)
  • Yurisprudensi MA No. 783 K/Sip/1973 tanggal 29 Januari 1976 menegaskan; seandainya memang Penggugat Terbanding tidak berhak atas tanah tersebut, kenyataan bahwa Tergugat-tergugat sampai sekian lama (27 tahun) menunggu untuk menuntut pengembalian atas tanah tersebut menimbulkan anggapan hukum bahwa mereka telah melepaskan hak mereka (rechtsverwerking)” “pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung Penggugat Terbanding yang telah menduduki tanah tersebut untuk waktu yang lama, tanpa gangguan dan bertindak sebagai pemilik yang jujur (rechtshebende te goeder trouw) harus dilindungi oleh hukum”.

Kaidah hukum dari 3(tiga) Yurisprudensi ini menguatkan posisi hukum tindakan penguasaan fisik selama bertahun-tahun dengan kesimpulan diantara lainnya:

  • Pemegang hak yang tidak menguasai fisik selama bertahun-tahun dianggap telah meninggalkan haknya;
  • Pemegang hak yang tidak menguasai fisik selama bertahun-tahun dianggap telah melepaskan hak atas tanah;
  • Penguasaan fisik tanah selama bertahun-tahun dianggap telah memperoleh hak milik;
  • Penguasaan fisik secara jujur harus dilindungi oleh hukum.

 

Warga juga dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai akibat dikeluarkannya keputusan TUN untuk menunda penggusuran. Intinya warga baru wajib melepaskan tanahnya setelah pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sebagaimana yang telah dilakukan upaya gugatan PTUN oleh warga Bukit Duri Jakarta sebagai pemohon yang dimenangkan atas penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta tahun  dalam putusan Nomor 205/G/2016/PTUN-JKT. Dalam pertimbangan majelis hakim dalam putusan tersebut dikatakan bahwa:

Janji Ganti Untung untuk membangun Kampung Susun tidak dapat ditarik secara sepihak (vide Putusan PTUN halaman 124 dan 125) “… Pemerintah Provinsi DKI Jakarta… pernah menjanjikan akan memberikan ganti kerugian bahkan ganti untung kepada warga kelurahan Bukit Duri terhadap tanah dan bangunan tempat tinggal mereka terkait adanya proyek normalisasi Kali Ciliwung, dan masyarakat Bukit Duri sebelumnya pada saat kampanye calon Gubernur DKI Jakarta atau 2 hari setelah pelantikan Gubernur DKI Jakarta yang menjabat pada saat itu datang ke kelurahan Bukit Duri dengan memberikan harapan akan dibangun semacam kampung susun/kampung deret untuk warga setempat.”

“…menanggapi pengharapan yang wajar dimana jika suatu harapan sudah terlanjur diberikan kepada warga negara tidak boleh ditarik kembali meskipun tidak menguntungkan bagi pemerintah oleh karenanya kepada Para Penggugat layak untuk diberikan tuntutannya dan gugatannya haruslah dikabulkan.”

 

 

 

[1] Pasal 38 Ayat (1) UU 2 /2012

[2] Pasal 38 Ayat (2) UU 2 / 2012

[3] Pasal 38 Ayat (3) UU 2 /2012

[4] Pasal 38 Ayat (4) UU 2 /2012

[5] Pasal 38 Ayat (5) UU 2/2012

[6] Para pihak yang bersengketa membawa penyelesaian kasusnya ke pengadilan negeri. Setelah pengadilan memutuskan tanah maupun rumah dimenangkan oleh salah satu pihak dan putusan itu sudah berkekuatan hukum tetap kemudian pemenang diberi hak untuk memohon eksekusi. Permohonan eksekusi berisi permintaan kepada ketua pengadilan negeri, panitera, jurusita, dan meminta bantuan kepada walikota/bupati setempat, Satpol PP, polisi dan militer untuk mengeksekusi atau mengusir paksa pihak yang menguasai rumah dan tanah. Seluruh biaya yang timbul untuk menggusur akan dibebankan kepada pemohon eksekusi.

 

[7] Alasan ini sering digunakan oleh pemerintah. Dampak yang dirasakan oleh warga: Pertama, warga dituduh sebagai pelanggar aturan tata ruang. Kedua, dituduh penghuni liar atau warga liar atau penghuni/penjarah tanah negara. Stigma-stigma negatif berdampak sangat buruk bagi warga. Warga akan kehilangan haknya untuk mendapat ganti rugi dan hinaan dilontarkan kepada warga dari pihak lain seperti masyarakat dan media.

 

[8] Pembangunan tersebut dalam bahasa undang-undang sering disebut pembangunan bagi kepentingan umum. Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan sesuai dengan UU Pengadaan Tanah (UU No. 2/2012).

 

[9] Pasal 9 Ayat (2)  UU 2/2012

[10] Pasal 40 UU 2/2012

[11] Lampaunya waktu menyebabkan orang menjadi kehilangan haknya atas tanah yang semula dimilikinya.

 

[12] Siapa yang dengan itikad baik, dan berdasarkan suatu alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya, dengan jalan daluwarsa, dengan suatu penguasaan selama dua puluh tahun. Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama tiga puluh tahun, memperoleh hak milik, dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alas haknya.

 

[13] Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak, lagi pula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada iktikadnya yang buruk.

 

[14] (1) Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.

 

(2) Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahulunya, dengan syarat: a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya; b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya

Recommended Posts