Apa sanksi bagi orangtua yang menyiksa anak-anak secara psikis maupun fisik?

Pelaku kekerasan baik fisik maupun psikis terhadap anak diancam pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara atau memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

 

Peraturan Terkait

  • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 (“UUPA”);
  • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UUPKDRT”);
  • Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan.

 

Analisa

Pasal 1 angka 1 UUPA:

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

Pasal 1 angka 16 juga mengatur bahwa Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Pada dasarnya, setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak (Pasal 76C UUPA) yang ancaman sanksinya terdapat dalam Pasal 80 UUPA:

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.

Kekerasan yang dilakukan oleh orang tua sendiri mengacu kepada Pasal 76C jo. Pasal 80 ayat (1) jo. Pasal 80 ayat (4) UUPA. Artinya, ancaman pidana penjara yang dijatuhkan kepada orang tua adalah ditambah sepertiga dari pidana penjara dan/atau pidana denda yang disebut dalam Pasal 80 ayat (1) UUPA. Namun demikian, sebelum melaporkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tua kepada pihak berwajib, disarankan agar cara-cara kekeluargaan dikedepankan. Terlepas dari sanksi pidana yang mengancam pelaku kekerasan (orang tua), jalur pidana hendaknya dijadikan upaya terakhir (ultimum remedium) setelah upaya perdamaian telah dilakukan.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan melaporkan tindakan kekerasan kepada Komisi Nasional Perlindungan Anak. Adapun mekanisme dan langkah-langkah penanganan anak korban kekerasan, koordinasi pelayanan, monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pelayanan diatur khusus dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan (“Permen 2/2011”). Peraturan ini merupakan pedoman bagi Kementerian/Lembaga di Tingkat Pusat; SKPD Terkait di Tingkat Daerah; Organisasi Masyarakat; Lembaga Pelayanan Penanganan Anak Korban Kekerasan dalam menangani anak korban kekerasan (Lampiran Permen 2/2011).

Tidak hanya dapat dijerat dengan UU Perlindungan Anak dan perubahannya (UU 35/2014), tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tua juga diancam dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”). Hal ini karena kekerasan yang dialami oleh anak  masuk dalam lingkup rumah tangga sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 UU PKDRT.

“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

Adapun lingkup rumah tangga dalam UU PKDRT ini meliputi [Pasal 2 ayat (1) UU PKDRT]:

  1. suami, isteri, dan anak;
  2. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
  3. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara (Pasal 5 UU PKDRT)

  1. kekerasan fisik;
  2. kekerasan psikis;
  3. kekerasan seksual; atau
  4. penelantaran rumah tangga.

Lalu apa langkah hukum yang dapat dilakukan? Pasal 26 UU PKDRT berbunyi:

(1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

 

(2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

Jadi, sebagai korban bisa melaporkan langsung kepada kepolisian atau memberikan kuasa kepada orang lain untuk melaporkan kekerasan yang Anda alami kepada pihak kepolisian.

Adapun ancaman sanksi bagi orang tua yang melakukan kekerasan terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2) UU PKDRT:

(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

 

 

 

 

 

Recommended Posts