Apakah agama dan kepercayaan yang tidak diakui oleh negara, dibolehkan untuk beribadah di ruang tertutup?

Bahwa agama dan kepercayaan yang tidak atau belum diakui oleh negara dibolehkan untuk beribadah di ruang tertutup dan juga dapat mendirikan rumah ibadat sepanjang tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum. Hal ini merupakan sebagai amanat daripada UUD NRI 1945 dan peraturan perundang-undangan terkait dengan hal kebebasan beribadah.

 

PERATURAN TERKAIT

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
  • Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
  • Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006/Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

 

ANALISIS

Hak beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Konsekuensi atas hal ini adalah bahwa setiap orang bebas dalam memilih dan beribadat menurut agamanya. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya disebut dengan “UUD NRI 1945”, menjamin perlindungan atas setiap usaha penduduk melaksanakan ajaran agama dan ibadat pemeluk-pemeluknya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalahgunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum. Adapun hal tersebut tercantum dalam Pasal 28E ayat (1) UUD NRI 1945, yang bunyinya adalah bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Hal ini dinyatakan lagi pada Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya, dan kepercayaannya itu. Adapun hal ini juga diturunkan dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya disebut dengan “UU HAM”, yang berbunyi:

  • Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
  • Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan kepercayaannya itu.

Terhadap agama-agamanya yang tidak dan/atau belum diakui oleh negara, bahwa penjelasan Pasal 1[1] paragraf ketiga, keempat, dan kelima Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, menyatakan sebagai berikut:

Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundang-undangan lain.

Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6.

Dengan kata-kata “Kegiatan Keagamaan” dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama, mempergunakan istilah-istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya.

Bahwa berdasarkan isi daripada penjelasan Pasal 1 paragraf ketiga, keempat, dan kelima Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dapat diartikan bahwa keberadaan agama-agama yang selain daripada agama-agama yang diakui oleh negara, mendapat jaminan perlindungan dari negara, hal ini dengan merujuk kepada Pasal 28E ayat (1) UUD NRI 1945, Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945, serta Pasal 22 UU HAM. Adapun bahkan hal mengenai ini juga telah dipertegas dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016[2]. Oleh karena itu pemeluk agama diluar agama-agama yang diakui oleh negara dapat menjalankan agamanya atau kepercayaannya tersebut menurut nilai-nilai luhur bangsa selama nilai-nilai mengakui keimanan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pada dasarnya Pasal 29 ayat (2) menyatakan bahwa  negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya, dan kepercayaannya itu. Akan tetapi untuk melaksanakan kegiatan ibadahnya itu tetap merujuk kepada ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006/Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, yang selanjutnya disebut dengan “Peraturan Bersama Menag dan Mendagri”. Adapun ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud merujuk kepada Bab V Izin Sementara Pemanfaatan Bangunan Gedung, dan secara khusus diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal  20 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri.

Pasal 18 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri menyatakan sebagai berikut:

  • Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan:
  1. Laik fungsi; dan
  2. Pemeliharaan kerukunan umat beragama[3] serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
  • Persyaratan laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung.[4]
  • Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama[5] serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
  1. Izin tertulis pemilik bangunan;
  2. Rekomendasi tertulis lurah/kepala desa;
  3. Pelaporan tertulis kepada FKUB[6] kabupaten/kota; dan
  4. Pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.

Dalam Pasal 19 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri berisi sebagai berikut:

  • Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat oleh bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) diterbitkan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota.
  • Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 2 (dua) tahun.

Pasal 20 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri berbunyi sebagai berikut:

  • Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dapat dilimpahkan kepada camat.
  • Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota.

Penganut agama-agama diluar agama-agama yang diakui oleh negara dapat juga membangun rumah ibadatnya guna keperluan kegiatan keagamaannya.  Bahwa yang dimaksud dengan rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka  3 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri, adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga. Mengenai hal pendirian rumah ibadat tersebut adalah dengan merujuk kepada Bab IV Pendirian Rumah Ibadat, Pasal 13 sampai dengan Pasal 17 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri. Adapun Pasal 13 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri menyatakan hal-hal sebagai berikut:

  • Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.
  • Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.
  • Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi.

Pasal 14 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri berisi tentang hal-hal sebagaimana berikut ini, yakni:

  • Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.[7]
  • Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:
  1. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
  2. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
  3. Rekomendasi tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan
  4. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
  • Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.

Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf d merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis. Adapun hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 15 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri. Dalam Pasal 16 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri berisi sebagai berikut:

  • Permohonan pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat[8] kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat[9].
  • Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah, sebagaimana hal ini dimaksud dalam Pasal 17 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri.

[1] Isi dari Pasal 1 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama adalah, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agam yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dari kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

[2] Amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 adalah sebagai berikut:

  1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk “kepercayaan”;
  3. Menyatakan Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  4. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

[3] Kerukunan umat beragama sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 1 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006/Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, selanjutnya disebut dengan “Peraturan Bersama Menag dan Mendagri”, adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945.

[4] Merujuk kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, selanjutnya disebut dengan “UU Bangunan Gedung”.

[5] Pemeliharaan kerukunan umat beragama dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri, adalah upaya bersama umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama.

[6] Forum Kerukunan Umat beragama, yang selanjutnya disebut FKUB, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri, adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.

[7] Hal ini merujuk kepada Pasal 7 ayat (1) UU Bangunan Gedung.

[8] Panitia pembangunan rumah ibadat dalam Pasal 1 angka 8 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri, adalah panitia yang dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat.

Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas Keagamaan adalah organisasi nonpemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik.

[9] Izin Mendirikan Bangunan rumah ibadat yang selanjutnya disebut IMB rumah ibadat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 8 Peraturan Bersama Menag dan Mendagri, adalah izin yang diterbitkan oleh bupati/walikota untuk pembangunan rumah ibadat.

 

 

Recommended Posts