Apa sanksi bagi atasan yang melakukan kekerasan fisik atau verbal terhadap bawahannya?

Sanksi bagi atasan yang melakukan kekerasan fisik atau verbal terhadap bawahannya, adalah ancaman pidana penjara dan/atau pidana denda sebagaimana hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 351, 352, 310, 311 KUHP.

Selain itu, bawahan yang bersangkutan dapat mengajukan PHK, dan mendapatkan uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sesuai peraturan.

PERATURAN TERKAIT

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Tenaker”).
  • Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35”)

 

ANALISIS

Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.[1]Kekerasan bukan hanya ketika seseorang melakukan atau mengalami penyiksaan secara jasmani, tetapi juga ada kekerasan yang sifatnya verbal. Kekerasan verbal adalah bentuk penyiksaan pada seseorang melalui kata-kata, dengan tujuan untuk merusak mental korbannya sehingga si korban akan merasa tidak percaya diri, mulai mempertanyakan intelegensi, hingga merasa tidak memiliki harga diri.[2] Kekerasan fisik maupun verbal bisa terjadi pada hubungan apapun, baik itu hubungan keluarga, hubungan antara atasan dan bawahan adalah hubungan ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.

 

Dalam hal ini yang akan dibahas adalah kekerasan fisik atau verbal yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahannya dalam hubungan kerja. Dalam hal ini diasumsikan bahwa hubungan kerja antara atasan dan bawahan dalam hubungan kerja ialah hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja/buruh. Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15 UU Tenaker, adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Pemberi kerja diartikan sebagai orang perorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain, sebagaimana hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 1 angka 4 UU Tenaker.

 

Berkaitan dengan hal sebagaimana di atas, bahwa pekerja/buruh sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3 UU Tenaker adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Adapun yang dimaksud dengan pengusaha dalam Pasal 1 angka 5 UU Tenaker, adalah sebagai berikut:

  1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan milik sendiri;
  2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
  3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

 

Dalam Pasal 86 ayat (1) UU Tenaker disebutkan bahwa Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:

  1. Keselamatan dan kesehatan kerja;
  2. Moral dan kesusilaan; dan
  3. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

 

 

Mengenai hal terjadinya kekerasan baik secara fisik maupun verbal yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahannya, bahwa undang-undang telah melarang hal tersebut untuk dilakukan secara umumnya, termasuk jikalau hal tersebut dilakukan oleh atasan terhadap bawahannya. Apabila hal tersebut dilanggar maka, terdapat konsekuensi hukum atas perbuatannya itu, sebagaimana hal ini diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud tersebut adalah sebagai berikut:

  • Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang selanjutnya disebut dengan “KUHP” berbunyi sebagai berikut:
  • Penganiayaan dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500,-.[3]
  • Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.[4]
  • Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, di dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
  • Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.
  • Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.

 

  • Pasal 352 KUHP[5]
  • Selain dari pada apa yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sebagai penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500,- Hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiganya, bila kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada di bawah perintahnya.
  • Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum.

 

  • Pasal 310 KUHP[6]
  • Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500,-
  • Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500,-.
  • Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri.

 

  • Pasal 311 KUHP
  • Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.
  • Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam Pasal 351 No. 1-3 (KUHP 312 s, 316, 319, 488).

 

Terkait atas dasar hal-hal sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas, maka apabila bentuk kekerasan fisik dilakukan oleh atasan terhadap bawahan, maka orang yang melakukan kekerasan fisik tersebut dapat dijerat dengan pasal penganiayaan dalam KUHP. Apabila  atasan tersebut melakukan kekerasan secara verbal maka dapat dijerat pasal penghinaan dalam KUHP.

PHK DAN PESANGON

Selain itu, bawahan juga dapat memohonkan pemutusan hubungan kerja. UU Tenaker mengatur tentang hal ini, yaitu pada Pasal 154A ayat (1) huruf g angka 1, yang mengatur bahwa pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh.

Bila pengusaha setuju dengan pengajuan PHK tersebut, maka pekerja berhak atas uang pesangon sebesar 1 kali dari perhitungan pada Pasal 40 ayat 2 PP 35; uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali dari perhitungan pada Pasal 40 ayat 3 PP 35; dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat 4 PP 35.

 

[1] KBBI Daring, kbbi.kemendikbud.go.id, diunduh pada tanggal 14 Agustus pada pukul 12.00 WIB.

[2] Asni Harismi, Mengenal Contoh Kekerasan Verbal yang Harus Diwaspadai. sehatq.com, diunduh pada tanggal 14 Agustus 2020 pada pukul 12.00 WIB.

[3] Dalam penjelasannya, R. Soesilo menyatakan bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan” (mishandeling) itu. Menurut Yurisprudensi, maka yang diartikan dengan “penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka. Menurut alinea 4 dari pasal ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah sengaja merusak kesehatan orang.

[4]R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995), hal. 244-245.

[5] Ibid, hal. 246.

  1. Peristiwa ini disebut “penganiayaan ringan” dan masuk “kejahatan ringan”.
  2. Yang masuk dalam pasal ini ialah penganiayaan yang tidak:
  1. Menjadikan sakit (“ziek” bukan “pijn”) atau
  2. Terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaannya sehari-hari.
  1. Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu (Pasal 353) dan penganiayaan terhadap ibunya dsb. (pasal 356) senantiasa tidak bisa masuk “penganiayaan yang ringan”.

 

[6] Ibid, hal. 225.

  1. Penghinaan dalam Pasal ini dapat diartikan menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Yang diserang itu biasanya merasa malu.
  2. Penghinaan itu ada 6 macam ialah: menista (smaad) ps.310 (1), menista dengan surat (smaadachrift) ps. 310 (2). Memfitnah (laster) ps. 311.penghinaan ringan (eenvoudige belediging) ps. 315, mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht) ps. 317 dan tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdarhtmaking) ps. 318.

Semua penghinaan ini hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang menderita (delik aduan).

 

Recommended Posts