Apakah sanksi bagi guru (akademik ataupun agama) yang melakukan pelecehan seksual terhadap muridnya?

Sanksi bagi guru (akademik ataupun agama) yang melakukan pelecehan seksual terhadap muridnya adalah dapat diberhentikan dengan tidak hormat, setelah melalui proses penegakan kode etik yang berlaku. Lalu ada sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak, yakni pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah), dan juga ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) UU Perlindungan Anak. Selain itu pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, serta dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

PERATURAN TERKAIT

  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Dosen dan Guru.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun  2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

 

ANALISIS

Guru sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Dosen dan Guru, selanjutnya disebut dengan “UU Guru dan Dosen”, adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam Pasal 2 UU Guru dan Dosen disebutkan bahwa:

  • Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  • Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.

Guru dalam penjelasan Pasal 1 angka 1 UU Guru dan Dosen adalah sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 4 UU Guru dan Dosen. Adapun dalam Penjelasan Pasal 4 UU Guru dan Dosen, bahwa yang dimaksud dengan guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.

Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidik nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, sebagaimana hal ini dinyatakan dalam Pasal 6 UU Guru dan Dosen. Pasal 20 huruf d UU Guru dan Dosen menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika.

Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun  2002 tentang Perlindungan Anak Sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, selanjutnya disebut dengan “UU Perlindungan Anak”, adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pasal 9 UU Perlindungan Anak menyatakan hal-hal sebagai berikut:

  • Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.
  • Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan Kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
  • Selain mendapatkan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a), Anak Penyandang Disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan Anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Anak terkait dengan hal pendidikannya juga diatur dalam Pasal 54 UU Perlindungan Anak yang isinya adalah sebagai berikut:

  • Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
  • Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat.

Keberadaan guru terhadap anak didiknya, yakni muridnya adalah untuk dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitasnya manusianya yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan beradab sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun juga bahwa guru mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional dalam bidang pendidikan. Sejalan dengan fungsi tersebut, kedudukan guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Mengenai hal guru yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak didiknya, yakni muridnya adalah merupakan hal yang tidak beradab, melenceng dari pada visi dan misi guru sebagai salah satu tenaga pendidik yang bertujuan untuk menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karenanya sanksi bagi guru (akademik ataupun agama) yang melakukan pelecehan seksual terhadap muridnya adalah dapat dijerat dengan kode etik profesi guru sebagaimana diatur dalam UU Dosen dan Guru, yakni pemberhentian secara tidak hormat, dan juga dapat dijerat dengan UU Perlindungan Anak. Bahwa dalam Pasal 54 ayat (1) UU Perlindungan Anak menegaskan bahwa anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

Pasal 76E UU Perlindungan Anak secara tegas menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Adapun ketentuan pidana yang mengatur hal tersebut adalah Pasal 82 UU Perlindungan Anak, yang isinya adalah sebagai berikut:

  • Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
  • Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  • Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindakpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.
  • Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  • Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
  • Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
  • Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
  • Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.

 

 

  1.  Profesional sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Dosen dan Guru, selanjutnya disebut dengan “UU Guru dan Dosen”, adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
  2. Kompetensi sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 10 UU Guru dan Dosen, adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
  3. Yang dimaksud dengan pendidik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang selanjutnya disebut dengan “UU Sisdiknas”, adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan ain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
  4.  Tenaga kependidikan dalam Pasal 1 angka 5 UU Sisdiknas, adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
  5. Peserta didik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU Sisdiknas, adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
  6. Yang dimaksud dengan “lingkungan satuan pendidikan”, sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun  2002 tentang Perlindungan Anak Sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, selanjutnya disebut dengan “UU Perlindungan Anak”, adalah tempat atau wilayah berlangsungnya proses pendidikan.
  7. “Pihak lain” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) UU Perlindungan Anak, antara lain petugas keamanan, petugas kebersihan, penjual makanan, petugas kantin, petugas penjemputan sekolah, dan penjaga sekolah.

Recommended Posts